skip to main |
skip to sidebar
Menelusuri potensi wisata di kawasan Timur Indonesia, dapat dipastikan tidak akan membuat para petualang yang suka melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya tidak akan menyesal. Decak kagum atas sajian indahnya panorama alam yang dipadi dengan kebudayaan, justru akan membuat pengunjung seolah tak hentinya berdecak kagum. Seperti ketika menelusuri potensi wisata yang ada di Pulau Sumba.
Pulau Sumba, salah satu dari gugusan pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur, berada pada busur luar kepulauan Nusa Tenggara, antara Pulau Sumbawa dan Pulau Timor. Lebih tepatnya lagi, pulau yang merupakan salah satu wilayah kerajaan Majapahit pada abad ke XIV dan saat ini telah memiliki empat daerah otonom itu, terletak persis di barat daya provinsi NTT. Tepatnya berjarak sekitar 96 km di sebelah selatan Pulau Flores, 295 km di sebelah barat daya Pulau Timor dan 1.125 km di sebelah barat laut Darwin Australia.
Pulau yang terkenal dengan pohon cendana pada abad ke-18 ini, telah memancing orang Belanda untuk datang dan mulai mendudukinya pada tahun 1906 itu. Selain karena Pulau Sumba memiliki sejumlah panorama dan potensi wisata, yaitu wisata bahari, wisata budaya serta wisata atraktif. Pantai Mananga Aba, Pantai Wekuri di Kecamatan Kodi Utara yang cocok untuk selancar angin dan ski air. Ada pantai Rate Garo di Kecamatan Kodi Bangedo, dengan hamparan pasir putih yang luas serta dihiasi sejumlah kuburan tua berbentuk menhir bak zaman megalitik, serta danau laut Mandorat di Kecamatan Kodi Utara. Pantai Mananga Aba, menawarkan bentangan garis pantai sepanjang 10 km dengan hamparan pasir putih yang bersih serta jernihnya air laut.
Bukan hanya itu, pantai yang berada di bagian utara Kecamatan Loura, dengan menempuh 30 menit menggunakan kendaraan bermotor itu, juga menawarkan pesona indahnya kemilau jingga matahari yang hendak redup di kala senja. Untuk wisata budaya, terdapat sejumlah perkampungan situs, dimana masyarakat yang mendiami kampung adat tersebut dipagari dengan tataan rapih bebatuan di atas puncak perbukitan berbentuk lingkaran. Di dalam kampung budaya itu juga kata Umbu Zaza, dilengkapi dengan jajaran kemegahan batu kubur megalitik yang terkesan angker namun sakral, dan merupakan sumber keyakinan penganut merapu, yang meyakini bahwa rumah adat dan kubur batu merupakan simbol kehidupan dan kematian.
Merapu adalah suatu kepercayaan yang pada hakekatnya, manusia akan mengalami kematian sebagai akhir kehidupan dunia nyata dan beralih kepada dunia yang tidak nyata atau merapu atau dunia arwah. Dalam kehidupan tidak nyata inilah, manusia masih terus berhubungan dengan manusia yang hidup melalui ritual adat. Khusus di wilayah Sumba Barat Daya, tercatat 11 perkampungan situs, di antaranya, situs Wainyapu di Kecamatan Kodi Bangedo, dengan jarak sekitar 45 km arah barat Kota Tambolaka.
Untuk wisata atraktif, Pasola, sebuah permainan rakyat yang berisiko, dengan masing-masing orang menunggang kudanya dan saling menghajar dan melempar dengan kayu (sola) dengan keras ke arah tubuh lawannya. Jika ada yang cidera bahkan hingga tewas pun, tidak ada yang dipersoalkan apalagi diperkarakan, karena dinilai sebagai tanda kesuburan dan kesejahteraan atau berkah dari sang maha dewi.
Pelaksanaan pasola, selalu dibarengi dengan kemunculan Nyale (cacing laut), yang menurut kepercayaan, jika munculnya dalam jumlah banyak dan bersih, pertanda hasil panen yang akan dilakukan pada tahun itu akan berlimpah. Pasola, dilaksanakan pada bulan Februari atau Maret, yang ditetapkan oleh Rato adat (imam atau kepala suku), berdasarkan perhitungan bulan purnama.
Wisata atraktif lainnya, adalah ritual kematian dengan seremoni kepercayaan merapu, dimana seorang yang meninggal dikremasi dan dibungkus dengan kain hasil tenunan dan disemayamkan beberapa hari dengan cara didudukkan, sebelum dikuburkan dalam kubur batu megalitik. Seremoni penguburan, disertai pembantaian sejumlah hewan (kerbau dan babi) dalam jumlah banyak, setara dengan strata sosial orang yang meninggal tersebut.
Sejumlah pesona wisata bahari, budaya dan atraktif termasuk tarian adat ini, hampir merata di tiga kabupaten lainnya, masing-masing Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur yang tentunya telah dipengaruhi oleh perkembangan zaman kekinian yang terjadi.
Seiring degan perkembangan zaman di era modernisasi saat ini, telah banyak memberikan pengaruh terhadap cara serta pola hidup masyarakat merapu di pulau Sumba. Semakin ke arah timur pulau tersebut, pengaruh modernisasi terhadap budaya juga semakin kuat dan nampak. Sebagai contoh, rumah-rumah adat kepercayaan merapu berarsitektur menjulang menggunakan atap alang-alang dengan tiga lapisan, masing-masing bagian bawah untuk hewan, tengah untuk manusia dan atas untuk lumbung makanan serta barang-barang berharga, mulai berubah.
Ditemukan sejumlah rumah menjulang berarsitektur rumah khas adat Sumba di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur, yang semestinya menggunakan atap alang-alang, tetapi sudah menggunakan atap seng dan berdinding papan berpelitur, yang semestinya hanya dengan belahan bambu hutan. Karena di zaman ini masyarakat kesulitan mendapatkan alang-alang untuk mengganti atap yang sudah rusak, maka digunakan seng sebagai penggantinya.
Semua ritual adat yang dulunya selalu menggunakan puluhan ekor hewan (kerbau dan babi) yang dibantai untuk dimakan bersama, juga sudah mengalami pengurangan yaitu hanya tiga ekor saja, dengan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah otonomi, demi penghematan.
Semakin ke wilayah timur di Kabupaten Sumba Timur, tidak lagi ditemukan hamparan kampung adat yang memiliki jajaran pekuburan megalitik. Perkampungan adat yang memiliki nilai sejarah di Kabupaten Sumba Timur dan pekuburan megalitik mulai bergeser ke pedalaman. Bahkan di Kabupaten Sumba Timur sudah terlihat lokasi kuburan umum, layaknya di daerah lain dan tidak ada di tiga kabupaten lainnya, yaitu di Sumba Barat Daya, Sumba Barat dan Sumba Tengah.
Di Kabupaten Sumba Timur, tidak lagi mengenal wisata atraktif pasola sebagaimana yang masih ada di Kabupaten Sumba Barat Daya dan Sumba Barat. Hanya mengenal pacuan kuda. Yang unik di Sumba Timur, khususnya di kampung adat Prai Yawang ialah budaya kremasi jenazah yang meninggal hingga bertahun-tahun hanya dengan ramuan bunga serta bungkusan kain hasil tenunan tanpa menyebar bau mayat, sebelum mendapatkan kata sepakat dari keluarga besar untuk dikebumikan dalam kubur batu megalitik.
Jika keluarga besar belum memiliki kesempatan untuk duduk bersama menentukan waktu penguburan kerabat yang meninggal, maka jenazah tetap disimpan dalam rumah dengan posisi duduk. Untuk menghindari bau dari jenazah yang akan dibiarkan selama bertahun-tahun sebelum dikuburkan, secara ritual adat, jenazah dimandikan dengan sebuah bunga yang disebut bunga Walahanggi.
Pasca dimandikan dan jenazah dipakaikan pakaiannya, bagian tempat duduk jenazah berbentuk kotak yang pinggirannya dibuat dengan kulit kerbau, ditaburi kembang yang sama yang sudah dihaluskan, sebelum jenazah didudukkan di atasnya. Itulah yang membuat jenazah tetap awet dan tidak bau, disamping keluarga terus melakukan pembalutan dengan kain adat setiap bulannya selama belum dikubur. Yang meninggal, terus dijaga oleh warga yang ditunjuk dan terus diberikan makan tiga kali sehari, pada saat orang hidup melakukannya. Jadi di setiap jam makan orang hidup, bagian orang yang meninggal disisihkan dan ditaruh di dekat jenazahnya.
Perlu perbaikan infrastruktur
Berbagai fasilitas mulai dibangun di seluruh kabupaten di pulau Sandalwood (kayu cendana) itu, seperti pelabuhan, akses jalan ke lokasi wisata, hotel dan restoran, sarana lain pendukung di lokasi wisata serta keamanannya. Pembangunan di sektor lain terus dilakukan, pembangunan dan perhatian untuk perbaikan infrastruktur ke lokasi wisata juga menjadi perhatian serius.
Potensi pariwisata wilayah disini bisa menjadi peluang bagi pemasukan dan pertumbuhan PAD di daerah yang baru mekar tersebut, sehingga pembangunan infrastruktur khusus jalan ke lokasi wisata terus dilakukan setiap tahunnya. Pariwisata adalah merupakan primadona pelaksanaan pembangunan di daerah ini. Karena itu sedang dorong percepatan pembangunan infrastruktur untuk bisa memudahkan akses kepariwisataan di daerah ini. Selain itu, keamanan juga terus ditingkatkan, untuk menjaga keamanan dan kenyamanan pengunjung ke setiap obyek wisata yang ada.
Semakin kondusifnya keamanan dan ketertiban di ujung timur pulau Sumba tersebut, karena kesadaran masyarakat sudah mulai tinggi terhadap pentingnya kehidupan yang aman dan damai di daerah tersebut. Dengan sejumlah sentuhan infrastruktur dan peningkatan kualitas keamanan di pulau Sumba yang kian baik dan kondusif, diharapkan bisa menjadi tambahan daya tarik para penikmat wisata bahari, budaya dan atraktif di Sumba untuk berbondong-bondong ke pulau tersebut.(ant/ar/hms)